perkembangan pemasaran

Dampak Krisis Moneter 1998 terhadap Lanskap Bisnis dan Pemasaran di Indonesia

ohgreat.id – Dampak Krisis Moneter 1998 terhadap Lanskap Bisnis dan Pemasaran di Indonesia. Indonesia pernah menjadi pusat perhatian dunia karena pertumbuhan ekonominya yang impresif sebelum krisis Asia 1998 melanda. Bersama negara-negara seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand, Indonesia digadang-gadang sebagai “The Next Asian Tiger” berkat pertumbuhan ekonomi di atas 5% secara konsisten tiap tahunnya. Namun, di balik pertumbuhan tersebut, tidak semua perusahaan menjalankan prinsip-prinsip manajemen modern, termasuk dalam hal pemasaran. Beberapa perusahaan besar justru tumbuh bukan karena efisiensi atau strategi pasar yang matang, melainkan karena perlindungan kekuasaan. Ketika perlindungan itu hilang, perusahaan-perusahaan tersebut pun menghadapi kesulitan.

Dalam konteks inilah Hermawan Kartajaya (2002a) menawarkan model Sustainable Marketing Enterprise (SME). Model ini menjadi acuan penting bagi perusahaan dalam menghadapi perubahan lanskap bisnis dan membangun ketahanan jangka panjang. SME direpresentasikan melalui diagram roket, yang mencakup tiga bagian utama: sustainable, market-ing, dan enterprise. Komponen market-ing digambarkan sebagai tubuh roket karena menjadi inti strategi. Sementara itu, sustainable dan enterprise berfungsi sebagai sayap yang membantu navigasi transformasi.

Pentingnya keberlanjutan menjadi kunci utama dalam model ini. Perusahaan yang tidak beradaptasi dengan perubahan akan terjebak dalam zona nyaman dan menghadapi risiko besar saat lingkungan bisnis berubah. Konsep sustainability di sini tidak bersifat statis, melainkan dinamis dan dibentuk melalui interaksi intens dengan lingkungan bisnis.

Strategi bisnis berbasis pemasaran sejati atau real marketing-based business strategy juga menjadi sorotan. Kartajaya mengusulkan penggunaan analisis 4C (Change, Customer, Competitor, Company) dan model STV Triangle (Strategy, Tactic, Value). Pendekatan ini menggeser perspektif perusahaan dari “inside-out” ke “outside-in”, agar lebih responsif terhadap dinamika eksternal.

Selain strategi, perusahaan memerlukan organisasi yang solid, terdiri dari inspirasi, budaya, dan institusi. Kartajaya menyatakan bahwa inspirasi harus mencakup keseimbangan antara idealisme (filosofi) dan pragmatisme (objective). Budaya perusahaan juga memiliki peran sentral dalam jangka panjang. Seperti dikemukakan Kotter & Heskett (1992), budaya kerja yang menekankan nilai pada konsumen, pemegang saham, dan karyawan akan memberikan dampak signifikan terhadap kinerja perusahaan.

Dari semua itu, pelajaran penting yang bisa diambil adalah bahwa pertumbuhan ekonomi atau perlindungan kekuasaan bukanlah jaminan keberhasilan jangka panjang. Perusahaan yang mampu bertahan dan berkembang adalah mereka yang mampu membangun strategi pemasaran yang berkelanjutan, tanggap terhadap perubahan, dan didukung oleh organisasi yang kuat dan inspiratif.

Scroll to Top